“Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa.”
Dua puluh satu bulan sudah anak saya hadir di dunia ini, selama dua puluh satu bulan juga saya berhasil menghindar dari menyanyikan, apalagi mengajarkan, lagu ini kepadanya. Bukannya tidak sayang, saya sayang kepada anak saya tentunya, tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan.
Tengoklah cerita Malin Kundang. Kalau kasih ibunya tak terhingga sepanjang masa, tak mungkin lah dia dikutuk jadi batu. Meh. Jujur saya lebih memilih mengajarkan lagu Cicak – “Datang seekor nyamuk, hap! Lalu ditangkap.” Realistis.
“Hanya memberi tak harap kembali.”
Saya tidak yakin bisa menghilangkan semua harapan-harapan yang saya titipkan pada anak saya. Memang saya tidak akan memaksanya untuk memenuhi semua idealisme yang belum tercapai pada masa puncak saya, namun setidaknya harapan saya, kalau saya gagal membangun hidup saya sendiri, dia bisa cukup sukses untuk menitipkan saya di rumah jompo yang besar, nyaman, dan susternya ga galak.
“Bagai sang surya menyinari dunia.”
Dibandingkan dengan matahari itu saya merasa sangat kecil. Bagaimana tidak? Dia membakar dirinya sendiri demi untuk menyinari dunia (meskipun saya ga yakin sih dia mengambil sendiri keputusan itu). Sementara saya? Apalah. Saya takut dengan kematian – dengan ketidakpastian atas apa yang terjadi di dunia antah berantah itu.
---
Saya tidak pernah mengira menjadi seorang ibu itu ternyata sesulit ini. Menjalani hari-hari menjadi seorang ibu itu bisa terasa sangat sendiri dan sepi, meski si anak tidak berhenti mengoceh dan merengek dari pagi sampai malam. Bagaimana tidak merasa sendiri? Coba bayangkan, ke mana seorang ibu harus berkeluh-kesah?
Kepada anaknya yang berkata-kata pun belum lancar itu? Kepada para suami yang sudah terdoktrin bahwa seorang ibu sepatutnya sangat mencintai dan mengidolakan anaknya? Kepada para selebgram yang foto-fotonya bersama anak-anaknya selalu penuh senyum dan tawa?
Ah, ke mana seorang ibu harus berkeluh kesah tanpa dihakimi, “ibu tuh harusnya ga gitu, ibu tuh harusnya ikhlas, karena kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa.”
Lagu yang sangat mengintimidasi.
Sementara ayah …
“Kring kring kring suara sepeda. Sepedaku roda dua. Kudapat dari ayah.”
Ya, ayah hanya perlu membelikan sepeda saja. Sepeda roda dua. Kalau roda tiga bisalah cari warisan dari sepupu, toh anaknya masih terlalu kecil untuk mengerti.
“Karena rajin bekerja.”
Dan ternyata sepedanya pun dikasih oleh ayah karena anaknya sudah lebih dulu bekerja. Haha.
Mungkin jika suatu saat nanti anak saya menuntut saya untuk memberi dan tak harap kembali, saya akan mulai bernyanyi,
“Tuk tuk tuk suara sepatu. Sepatuku kulit lembu. Kudapat dari ibu karena rajin membantu.”
[]
Tulisan ini telah dipublikasikan di Linimasa.