Great minds discuss ideas
Average minds discuss events
Small minds discuss people
Politik Indonesia sedang bergejolak akhir-akhir ini. Karena keserakahan seseorang, berakhir pada unjuk rasa rakyat Indonesia di berbagai kanvas, daring dan luring. Bendera biru “Peringatan Darurat” ini bisa dilihat di mana-mana dalam beberapa hari terakhir.
Pembicaraan netizen pun meluas yang awalnya benar-benar fokus ke politik, hingga akhirnya tersenggol oleh unggahan instagram story menantu presiden yang pergi ke beberapa wilayah di Amerika Serikat dengan menggunakan private jet, memamerkan sandwich seharga 400 ribu rupiah, dan membeli stroller puluhan juta rupiah.
Bukan netizen Indonesia namanya kalau tidak kreatif, latar belakang sang menantu pun dikorek-korek, hingga akhirnya tersebarlah gosip kalau si menantu ini bau ketek.
Permasalahan yang sangat berhubungan erat dengan semua kalangan masyarakat, apalagi masyarakat pengguna KRL di Jabodetabek yang harus berdesakan setiap hari karena pengadaan gerbong kereta tambahan tidak pernah disetujui.
Dari sana, beragam foto yang seperti membenarkan kabar bau ketek itu pun mulai tersebar luas. Media-media nasional juga mulai menurunkan beberapa artikel yang menyindir bau ketek finalis Putri Indonesia 2022 itu.
Masalahnya adalah argumen seperti itu sebenarnya adalah argumen ad hominem yang menyerang atribut orangnya langsung dan bukannya sikapnya sebagai menantu presiden yang tidak peka dengan gejolak yang terjadi di tanah air (yang penyebab utamanya adalah suaminya sendiri!)
Beberapa orang mulai menyuarakan kalau menyerang orangnya langsung bukanlah cara yang tepat untuk membawa isu ini.
Saya bimbang.
Sudah bukan rahasia lagi kalau rakyat Indonesia saat ini lebih mudah goyah dengan pencitraan daripada isu-isu terlalu intelek yang tidak bisa dijelaskan dalam satu kalimat. Sudah dijelaskan dalam satu kalimat pun bisa jadi tetap tidak dipedulikan karena semua itu tidak terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Makanya, sepuluh tahun terakhir ini kita bertahan dengan presiden yang “tidak ragu menyingsingkan lengan kemeja untuk masuk gorong-gorong dengan baju dari produsen lokal dari kepala hingga kaki.” Dan setidaknya untuk lima tahun ke depan, rakyat Indonesia akan berada di bawah kepemimpinan “bapak pensiunan TNI yang gemoy, gemar berjoget, dan sayang kucing.”
Berangkat dari situ, saya merasa tidak ada salahnya untuk meraup hati orang lebih banyak dengan mengenalkan isu “menantu presiden bau ketek yang pergi ke Amerika dengan menyewa pesawat jet seharga delapan miliar untuk membeli roti 400 ribu dan stroller puluhan juta.”
“Menantu presiden bau ketek” saja rasanya sudah cukup untuk membuat warung kopi bergemuruh.
Sungguh bukan argumen yang ideal. Bukan lingkungan demokrasi yang ideal.
Tapi, perlukah kita bertahan dengan idealisme di masa krisis?
“Ya kita harusnya tetap di jalan yang benar karena rakyat Indonesia tidak boleh tetap bodoh.”
Iya, tidak salah, edukasi politik (dan di segala bidang lainnya) harus tetap berjalan. Tapi, apa bisa selesai Hari Senin?
Di sisi lain, saya juga berpikir, how low should we stoop? Bukankah dengan melakukan itu kita juga sedang melakukan manipulasi yang sama, yang kita mau buang jauh-jauh?
Di mana batasnya? Baik dan buruk ternyata tidak sehitam putih itu bagi saya.
But, maybe Indonesia doesn’t need heroes, maybe it needs anti-heroes and anti-heroins.
Seperti biasa, jangan harapkan kesimpulan atau jawaban dari tulisan saya.
Seandainya saja anak-anak presiden masih nyeleneh seperti dulu, sepertinya besok Senin menantu presiden akan langsung meluncurkan bundling produk deodoran dan minyak wangi. Seandainya.
Sekian. Dari saya yang sering bau ketek juga kalau nervous, seperti saat menulis tulisan ini.