Suatu hari di gerbong wanita Commuter Line tujuan Jatinegara.
Dua orang pasangan masuk ke gerbong kereta paling belakang (paling dekat dengan pintu masuk stasiun). Salah satu pasangan sudah cukup berumur, sementara yang lainnya masih gagah perkasa.
Satu dua menit hingga lima menit berlalu sejak kereta mulai berangkat dari stasiun tempat mereka naik. Namun para pria itu tidak menunjukkan gelagat akan beranjak ke gerbong lain.
Salah satu penumpang pun akhirnya mengingatkan pasangan yang lebih tua.
“Pak, silakan maju ke gerbong berikutnya, di sini gerbong khusus wanita.”
“Wong dapetnya di gerbong ini kok disuruh-suruh maju,” sanggah istrinya membela si suami dengan sedikit menggebu.
“Iya, tapi ini gerbong wanita, silakan jalan ke gerbong berikutnya. Ga terlalu penuh juga, masih bisa jalan.”
“Apaan, saya dapatnya di gerbong ini. Kok disuruh naik ke gerbong depan.”
Setelah itu si ibu bergerak ke seberang penegurnya dan mulai “ngedumel” ke penumpang lain. Sambil mendekat ke arah pasangan yang lebih muda. Kemudian dia melirik ke arah penegurnya, menunjuk pria yang lain seraya berkata,
“Ini ada temennya kok, ga masalah.”
Mendengar itu saya langsung gatal bin dongkol. Do you think two wrongs make a right?!
Karena saya tak ingin berdebat dengan wanita tua itu, maka dengan segera saya menghampiri satpam yang berdiri di antara gerbong wanita dan gerbong berikutnya untuk “mengusir” kedua pria yang berada di tempat yang tidak semestinya itu.
Sungguhlah kebiasaan mengabaikan hal-hal seperti ini seringkali menggelitik hati dan pikiran saya serta mengganggu mood yang sudah susah payah saya bangun.
Mungkin kelak di hari akhir, ibu itu akan mengalami dialog seperti ini dengan Tuhan.
Tuhan: “Kamu masuk neraka karena melakukan zina.”
Ibu: “Tenang aja Han, ini ada temennya kok. Amaaan. Ga masuk neraka kan jadinya.”
Hhhh.